Thursday, February 21, 2013

[Review] Recto Verso


"Aku jatuh cinta pada seseorang yang hanya sanggup aku gapai sebatas punggungnya saja..."

"Kalau Bunda ditanya siapa yang paling tulus ke kamu, Bunda akan jawab... Abang"

"Kamu tahu apa soal Cinta?"

"Kalau kita punya firasat akan seseorang, apa kita perlu kasitau orang itu?"

"Sebotol anggur mahal anggur putih ada di depan matamumu, tapi kau tak pernah tahu. Kamu tetap menanti.. Segelas air putih."


Hanya Isyarat | Curhat buat Sahabat | Cicak Di Dinding | Firasat | Malaikat Juga Tahu.

Apakah kesamaan yang bisa kita temukan di kelima tema di atas?
Bagi kalian yang sudah membaca buku "Recto Verso" karangan Dewi Lestari (Dee), tentu pertanyaan ini bisa dengan mudah dijawab. Namun, bagi kalian yang hanya tahu di bioskop saat ini sedang tayang film "Recto Verso" tanpa tahu asal usul nama tersebut, beruntunglah kita diberi kesempatan untuk memahami, mendalami, dan mencintai "Recto Verso".


Recto Verso. 'Cinta yang Tak Terungkap'.
Sebuah pesan universal yang coba disampaikan melalui 5 tema (cerita pendek) di atas dengan kemasan epik ke dalam salah satu drama romantis terbaik Indonesia. Kisah melankolis yang sangat lekat dengan kehidupan khalayak ramai ini dinilai telah berhasil menjadi penghias hari Valentine 2013, dipandang sebagai sesuatu yang kolosal bagi dunia layar lebar Indonesia.

Lima sutradara muda yang selama ini lebih dikenal sebagai bintang di depan layar kini mencoba memberikan warna tersendiri bagi khazanah perfilman Indonesia dari balik layar. Sejumlah respon positif, tepuk tangan di akhir film, pujian yang tak kunjung henti berdatangan telah membuktikan bagaimana sutradara wanita Indonesia sudah layak dan sepantasnya tidak lagi dipandang sebelah mata.


Jalan cerita, pendalaman peran, sinematografi yang indah, artikulasi kata-kata puitis yang tegas-bermakna-dan-tidak berlebihan, serta alunan scoring musik yang sangat pas menghiasi hampir seisi film. Rangkaian semua elemen tersebut telah membuka mata para penonton Indonesia (khususnya saya) akan secercah harapan untuk berkembangnya film layar lebar Indonesia yang berkualitas, di samping film porno tanggung, hantu, pocong, dan kawan-kawannya.


Lihatlah bagaimana Lukman Sardi mendalami perannya sebagai pria autis, Dewi Irawan dengan karakter keibuan yang penuh cinta & masalah, Asmiranda dan Dwi Sasono beradu dialog sarat makna, Sophia Latjuba yang begitu kental dengan karakter 'player' (in positive way), Acha yang dengan begitu mudahnya berubah-ubah karakternya dari ceria penuh tawa menjadi sedih penuh senyum miris & air mata yang tiba-tiba membanjiri wajah,  sampai dengan karakter manusia biasa yang begitu menonjol oleh Fauzi Baadillah, Amanda Soekasah, Prisia Nasution, Indra Birowo.  

Tidak ada yang tidak setuju bahwa scoring dan soundtrack memainkan peranan yang sangat esensial di dalam film ini. Ricky Lionardi sebagai Music Director bisa dibilang sebagai dalang di balik konsensus ini. Tanpa mengucilkan kontribusi Drew, Dira Sugandi, maupun Dewi Lestari, Glenn Fredly dengan "Malaikat Juga Tahu" serta Raisa dengan lagu penutup "Firasat" telah berhasil menyentuh hati penonton hingga tak sedikit banyak yang mengaku tak bisa berhenti menitikkan air mata hingga film usai.

Meskipun film ini terdiri atas 5 cerita pendek, namun kelima cerita tersebut tidaklah berjalan end-to-end secara seri. Pemotongan, penggabungan, dan irisan kelimanya dibungkus dengan sangat rapi oleh Cesa David sebagai Editor. Menjelang akhir film, penonton akan dibawa menikmati sebuah momen indah saat potongan-potongan final dari setiap cerita pendek tersebut menampilkan:
  • sejumlah akting kelas atas, 
  • scoring indah dengan penerjemahan lirik dan tempo lagu "Malaikat Juga Tahu", 
  • penyutingan film yang terstruktur dan berhasil build-up moment, dan 
  • akhir yang klimaks dan berhasil mengetuk pintu hati seluruh penonton!

Secara eksplisit, itulah keindahan duniawi yang bisa ditangkap oleh saya saat menyaksikan film ini. Di balik semua yang kasat mata & telinga tersebut, topi sudah selayaknya diangkat untuk seluruh sutradara dan penulis skripsi. Malaikat Juga Tahu Merekalah yang jadi juaranya!

Dengan bangga, berikut inilah kelima nama sutradara (Marcella Zallianty, Happy Salma, Olga Lydia, Rachel Maryam, Cathy Sharon) dan 5 penulis skripsi ulung (Ve Handjojo, Key Mangunsong, Ilya Sigma, Priesnanda Dwi Satria, and Indra Herlambang) yang telah berhasil menggugah saya untuk pertama kalinya menulis ulasan film.

Semoga tulisan ini berhasil menggugah mereka yang belum menonton untuk menonton, menggugah sutradara-sutradara muda Indonesia untuk membuat semakin banyak film berkualitas, dan menggugah kita semua untuk semakin mengapresiasi karya kreatif anak bangsa!

Cheers!


"When you know how hard it takes to make a simple video, you'll simply appreciate every single simple scene" (EM)