Sunday, April 7, 2013

How CMT Convergence & Reality Show Bridged Me with Live MV Experience (Part 1)

It's been a month of my tenure working on media industry. Lots of insights and experiences gained along the way. I finally figured out why some people could be so chauvinist of their company's products :))
 However, my post here was fully written under objective judgement :)
 
Working on Business Development function essentially drives me to think about the future of the Company & industry. In brief, at this moment, all media companies around the world basically are going towards the same trend: Convergence, specifically CMT convergence. It's a terminology for the combination of Communication, Media, and Technology (CMT).
CMT Space

Now, we all can taste the delicateness of using mobile phone for communication, internet, movies, audios, etc. In several developed countries, there have been lots of development on mobile TV, where basically by plugging in a dongle, we can watch all TV channels on iPad / any other tablets. And.... many more CMT convergence development beyond our imagination.

Not only had the hardware (TV set) adopted the convergence, but also the software (TV programs, artists, fan base, etc) itself has also transformed towards this trend. One of the concrete examples is how current talent show utilized twitter to get more viewers & higher ratings.

Indonesian Talent Shows

It's interesting to talk about Indonesian talent shows. At this moment, we have 3 popular shows (excluding the ones for kids), i.e.: IMB / Indonesia Mencari Bakat (Trans TV),  X-Factor Indonesia (RCTI), and The Voice Indonesia (Indosiar). All are broadcasted by the biggest audience-share media groups (MNC, EMTEK, and Transcorp.). Without any means to expel IMB, X-Factor and The Voice have been competing tightly to be the best current Indonesian talent show, specifically in singing.
Indonesian Talent Shows

They're both utilizing social media intensively to get more audience shares. The show itself has twitter account as well as the coaches, contestants, even the contestants' fan base. Each has different CRM (customer relationship management) approach via this twitter: X-Factor are used to broadcasting the tweet for each contestant after he/she finished performing, while The Voice still use pop-up feature to broadcast the viewers' tweets. Besides twitter, they also upload their videos on YouTube, something which might be new for Indonesian TV show.

Adopting the same format from US programs, X-Factor and The Voice have rivaled not only in US but also here. Moreover, the shows are also coming on the nearby period, thou X-Factor Indonesia started earlier. There have been lots of debates on deciding which one is the best singing competition show between these two + American Idol. Based on my quick research, I found out that The Voice has surpassed American Idol and X-Factor (some references: dailynews, Reality Nation, USA Today). And, how is it going for the Indonesian versions?

The Voice VS Idol VS X-Factor

Here are my thoughts...

X-Factor Indonesia VS The Voice Indonesia

Untuk pembahasan ini, mending pakai Bahasa Indonesia saja :)
Sebagai penggemar US singing reality shows, awalnya saya mengikuti Idol. Seiring dengan berjalannya waktu dan bertambahnya acara sejenis, perhatian mulai teralihkan ke The Voice. Kemudian, muncul X-Factor. Namun, dari keseluruhan acara itu, hanya The Voice yang selalu ditonton setiap season. Oleh karena itu, sangat menarik saat tahu bahwa (akhirnya) The Voice masuk ke Indonesia.

Secara personal, ada beberapa alasan utama kenapa The Voice (versi negara manapun) menjadi lebih menarik dibandingkan yang lain:
  1. Format / Konsep
    Alasan paling mendasar adalah format acara yang menarik, penuh dengan unsur "game" tanpa mengindahkan keindahan talenta menyanyi dari setiap kontestannya. Hal ini mungkin sebagian besar dilatarbelakangi oleh keberadaan Mark Burnett (yang buat seri "The Survivor") sebagai produser acara ini. Continuous improvement dan kejutan pun terus diterapkan di setiap season, sebagaimana adanya tweak STEAL semenjak Season 3 di The Voice US.

  2. Kontestan
    Game
    atau Permainan pada dasarnya bersifat fun dan berarti tidak selalu harus serba serius. Tantangan terbesar bagi The Voice adalah memastikan keseimbangan antara unsur fun dan unsur keseriusan ini. Dan, IMO, The Voice selalu berhasil mengatasi problem ini dengan menyajikan talenta-talenta yang juga sama bagusnya dengan si konsep.

    Mereka melakukannya dengan tidak hanya bergantung pada mereka yang mau mendaftar, tapi juga menjemput bola kepada sejumlah nama yang memang belum memiliki banyak kesempatan untuk menjadi bintang (underrated artists). Di sinilah peran talent hunters sangat penting. Dan, sejauh mata memandang, The Voice always amazed me with its contestants' talents.

  3. Juri (Coach)
    Dibandingkan mengambil konsep juri / judge seperti Idol atau kompetisi menyanyi konvensional lainnya, The Voice mengambil pendekatan yang berbeda, yakni: pelatihan (Coach). Hal yang sama sebenarnya digunakan oleh X-Factor. Bedanya coach di The Voice sudah memilih sejak awal tanpa mempedulikan fisik peserta (blind audition), sedangkan X-Factor memilah kontestan menjadi milik coach siapa setelah memasuki sejumlah babak audisi. Bagi sebagian penonton, hal ini mungkin menjadi daya tarik tersendiri karena dinilai lebih objektif.

    Namun, berbicara pandangan personal saya lagi, yang lebih menarik dibahas sebenarnya bukan konsep pemilihan sejak awal / tidak, melainkan aspek pembagian porsi anak didik per coach dengan konsep demografi (usia, kelamin, individu / grup, etc)...
    .... yang mana justru menjadi bumerang. Karena apa yang diinginkan oleh penonton (khususnya swing voters - bukan fans / kenalan kontestan) essentially adalah talenta-talenta yang terbaik, tanpa peduli usianya / jenis kelaminnya / faktor fisik lainnya. Jadi, sangat disayangkan kalau ternyata yang bagus-bagus misalkan sebagian besar berasal dari kelompok usia >30 tahun. Sedangkan, untuk kelompok tersebut hanya bisa meloloskan 4 orang ke babak live show. Mungkin ini alasan kenapa beberapa orang mengatakan bahwa X-Factor bukan kompetisi menyanyi saja, yang mana merupakan sebuah paradigma yang sulit diterima oleh khalayak.

    Keuntungan natural ini bagusnya juga berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh The Voice melalui penyajian coaches yang berkualitas dan menghibur. Kalau di The Voice US, perdebatan, kelakuan, dan jokes Blake Shelton VS Adam Levine adalah salah satu key success factors dari acara tersebut.


Berbicara di dalam konteks Indonesia, kompetisi ini juga sudah mulai dirasakan. Bagi kalian yang sering menonton kedua acara ini via YouTube, coba sering-sering membaca komentar di bawah video! Siapapun yang ditampilkan di klip YouTube tersebut, pasti ada saja komentar yang mengatakan acara "ABC adalah kompetisi yang terbaik! XYZ ga ada apa-apanya!" plus berbagai alasannya. Selalu ada pro dan kontra, namanya juga kompetisi kan :)
Contoh Perang Reality Show di YouTube

Tapi, kalau saya pribadi tetap lebih menyukai The Voice. Alasannya sederhana karena ketiga aspek utama di atas. Meskipun perlu diakui bahwa sejauh ini kualitas audio maupun visual X-Factor lebih baik dibandingkan The Voice. Namun, secara kualitas kontestan dan juri / coach, selera saya masih mengunggulkan The Voice Indonesia (TVI).
Perang Komentar Akibat Lagu Sama Dinyanyikan Kontestan TVI Maupun X-Factor

Dalam kesempatan ini, saya lebih memilih untuk tidak membicarakan kelemahan mendetil dari masing-masing acara. Toh, itu hanya menimbulkan masalah baru. Yang lebih penting sebenarnya adalah membahas tantangan The Voice Indonesia / TVI (pada khususnya) dan Indosiar (pada umumnya) ke depannya, khususnya menjelang memasuki babak live show ataupun next seasons, yaitu:
  1. How to satisfy both Indosiar's market segment + incumbent TheVoice fans
    Pada prinsipnya, Indosiar ini memiliki target pasar kelas menengah ke bawah (SES BCD). "Tersanjung" sinetron ratusan episode itu maupun sinetron dengan naga + elang terbang adalah salah satu contohnya. Jadi, bisa dikatakan, baik sebelum maupun sesudah diakuisisi EMTEK, strategi ini tampaknya masih sama. Apalagi mengingat EMTEK sudah memiliki SCTV, channel TV dengan target pasar kelas menengah ke atas (SES AB).

    Bingung sekaligus menarik sebenarnya mengulik kenapa The Voice disiarkan di Indosiar, bukan di SCTV. Bicara pengalaman, memang Indosiar lebih berpengalaman daripada SCTV dalam hal singing reality competition, seperti: AFI, MamaMia, dll. Tetapi, alasan pastinya apa? I am not the right person to answer it.

    Yang harus menjadi concern sebenarnya adalah bagaimana TVI bisa merebut hati seluruh segmen pasar (SES ABCD) untuk nonton Indosiar. FYI, bagi yang belum mengerti apa itu SES, SES adalah singkatan untuk Socio-Economic Segment, sebuah terminologi yang biasanya digunakan untuk mengkategorisasikan masyarakat berdasarkan kondisi sosial dan ekonominya, di mana SES A adalah segmen pasar dengan pemasukan dan pengeluaran terbesar & SES D sebaliknya.

    Beberapa kali liat di komen YouTube maupun komentar teman-teman, tidak sedikit yang menyatakan tidak nonton TVI karena ditayangkan di Indosiar, sebuah channel yang mereka anggap penuh dengan acara-acara kurang berkualitas (secara spesifik, ada yang menyebut sinetron penuh dengan binatang-binatang terbang tersebut), suara dan gambarnya juga jelek dibandingkan channel-channel top lainnya.

    Bagi SES CD, ajang ini mungkin sesuatu yang baru dengan konsep yang sangat menarik. Ditambah faktor Indosiar sebagai channel pilihan mereka. Namun, bagus tidaknya singing reality show juga harus bergantung pada kelas AB, apalagi lagu yang ditampilkan juga lagu selera kelas atas.

    Bagi SES AB sendiri, ekspektasi mereka akan acara ini mungkin cukup tinggi, apalagi bagi mereka yang sudah terbiasa dengan The Voice US / UK / lainnya (sebut saja mereka: incumbent fans). Apabila memungkinkan, tim TVI mungkin bisa memikirkan tweak seru & unik seperti "Steal" - ambil kontestan juri lain yang tereliminasi di battle round, ataupun drama pemilihan kontestan jatah terakhir seperti di The Voice UK (Jay Ellington - Will.i.am team)

    TVI Coaches
    Harus dipastikan juga coaches TVI menjadi diri mereka sendiri dan tidak meniru coaches The Voice lainnya. Komentar-komentar yang dikeluarkan juga harus berbobot, objektif, dan menghibur. Risiko menggunakan konsep coach adalah subjektivitas penilaian. Namun, selama keputusan akhir tidak selalu ada di tangan coach, seharusnya hal ini tidak terlalu menjadi masalah. Sejauh ini, saya merasa terhibur dengan juri-juri TVI, khususnya Kang Armand!

    Memperbaiki program-program di luar TVI mungkin bisa menjadi solusi, tapi it takes time. So, better memikirkan strategi internal TVI untuk mengemas acara menjadi lebih elegan dari berbagai aspek: visual editing, audio, MC, stages, pengambilan gambar, dan iklan-iklan yang dikemas lebih menarik & tidak terlalu berlebihan. Strategi pemberian bocoran via twitter juga harus diperhatikan agar tidak sampai terlalu spoiler dan membuat rasa penasaran penonton berkurang signifikan.

  2. How to provide better visual & audio
    Seperti yang sudah disebutkan di point #1, TVI dan Indosiar harus memikirkan pula bagaimana menyajikan pengambilan gambar, editing, dan pengemasan AuVi yang lebih berkelas. Beberapa teman saya banyak yang mengeluhkan masalah ini. Beberapa kali nonton, saya sendiri juga merasakannya. Dan, saya harus akui bahwa X-Factor Indonesia unggul dalam aspek ini.

    Dari sisi visual, TVI harus memastikan timing audio dan visual yang tepat (jangan seperti dubbing yang terlambat / kecepatan), transisi antar klip juga harus lebih smooth (tidak terlalu patah-patah atau mendadak), pengambilan gambar dibuat lebih elegan dan tidak membosankan (jarang terlihat manuver-manuver kamera yang menarik seperti contoh American Idol yang seringkali close up memutari kontestan), dan kualitas warna Indosiar yang somehow berbeda dengan channel TV lainnya (apa mungkin gara-gara gelombang radio yang digunakan berbeda?).

    Dari sisi audio, sebenarnya saya tidak terlalu mempermasalahkan. Karena saya juga bukan ahlinya dalam bidang audio, jadi takkan berbicara banyak tentang ini. Tapi, besar harapan, pada saat live show yang mana pasti akan menjadi lebih sulit daripada tapping babak audisi, TVI dan Indosiar harus bekerja lebih keras lagi untuk memastikan adanya perbaikan untuk kedua hal ini guna tidak melemahkan sejumlah keunggulan natural yang sudah dimiliki oleh The Voice.
  3. How to lead the Contestants to promising future
    Entah kebetulan atau tidak, namun juara singing reality show yang paling sukses umumnya berasal dari Idol, baik itu di US maupun Indonesia. Selain faktor kualitas, tentunya faktor komersial memiliki peran besar di sini. Namun, sebelum bicara ke nasib pemenang kontes, TVI juga harus memastikan jangan sampai penampilan bagus yang terlihat di audisi malah justru memburuk saat live show, yang mana somehow IMO terjadi di reality show seberang. Peran coaches akan sangat besar dalam hal ini.

    Tantangan tersendiri pula bagi Indosiar, yang sudah pernah menelurkan sejumlah juara kontestan menyanyi seperti AFI, bagaimana lantas talenta-talenta bagus ini kemudian ditindaklanjuti atau setidaknya dijembatani menuju karir yang lebih baik. Sejauh ini, jebolan kompetisi menyanyi yang sukses berkelanjutan menjadi artis papan atas di belantika musik Indonesia berasal hanya dari Indonesian Idol (meskipun tidak semua). Hal inilah yang harus dicontoh oleh TVI guna menempatkan posisinya sebagai tidak hanya acara unggulan pemirsa, tapi juga unggulan peserta dengan bakat-bakat luar biasa. Otherwise, nasib TVI bisa berujung seperti AFI yang semakin lama semakin mengalami penurunan kualitas.
Jebolan Indonesian reality show yang meroket

At the end...
Ini semua hanyalah pendapat pribadi yang coba saya rangkum bersamaan dengan pengamatan dan penelitian singkat. Tidak ada maksud menjelekkan ataupun merendahkan acara apapun. Saya sebagai penikmat musik & penyanyi Indonesia serta penyuka reality show tentu sangat bersyukur dengan semakin banyaknya singing competion di Indonesia. Mata pun semakin terbuka bahwa kualitas suara dan musikalitas orang Indonesia itu sinting bagusnya! Ga peduli agama, warna kulit, ras, fisik, gender, kita semua pasti semakin bangga dan puas!!! 
Tinggal bagaimana semuanya itu sekarang dikelolah dan dikemas dengan baik oleh program TV maupun stasiun TV terkait. Dan, semoga tulisan ini bisa berguna dengan tujuan ke arah tersebut :)

Thank you for reading!


NB: the relationship between my above insights with my latest experience on filming live music will be discussed later on separated post, the 2nd part :)


Peace, Love, and Community
@edodotcom